Selasa, 12 November 2024

BERSEDEKAH TIDAK PERLU MENUNGGU KAYA

Hai sobat sobatku, marilah kita ajarkan sedekah kepada keluarga, anak, dan cucu cucu kita.

Banyak orang berpikiran yang salah, bersedekah menunggu kalau kita punya, kalau kita kaya, sedangkan ukuran kaya pada diri kita seperti apa kita tidak tau !.

Untuk Bersedekah Janganlah menunggu Kaya, Karena sesungguhnya Kita Wajib Menginfakkan  sebagian Rezeki yang telah diberikan oleh Allah.

Karena kita tidak dapat mengukur Titik Kaya pada diri kita, Jangan jangan kondisi kita saat ini yang menurut kita masih kekurangan, ternyata adalah Puncak Kekayaan kita yang telah ditakdirkan oleh Allah.

Karena bersedekah tidak ada ukurannya berapa jumlahnya, untuk itu sekali lagi tidak perlu menunggu kaya, hari ini kita mampu bersedekah 1000, 5000, atau berapapun segerakanlah bersedekah.

Mudah mudahan Tulisan ini mengispirasi pembaca, menambah iman kita, menambah syukur kita kepa Allah SWT.

Apa bila ada yang salah dalam penulisan ini penulis mohon maaf dan mohon koreksi, untuk perbaikan artikel artikel di masa yang akan datang.
 

Jumat, 28 Maret 2014

Sampaikan Ilmu Dariku Walau Satu Ayat




Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)
Seputar perawi hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Su’aid bin Sa’ad bin Sahm As Sahmiy. Nama kunyah beliau Abu Muhammad, atau Abu Abdirrahman menurut pendapat lain. Beliau adalah salah satu diantara Al ‘Abaadilah (para shahabat yang bernama Abdullah, seperti ‘Abdullah Ibn Umar, ‘Abdullah ibn Abbas, dan sebagainya –pent) yang pertama kali memeluk Islam, dan seorang di antara fuqaha’ dari kalangan shahabat. Beliau meninggal pada bulan Dzulhijjah pada peperangan Al Harrah, atau menurut pendapat yang lebih kuat, beliau meninggal di Tha’if.
Poin kandungan hadits :
Pertama:
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyampaikan perkara agama dari beliau, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya agama bagi manusia dan jin (yang artinya), “Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan bagimu nikmat-Ku dan telah aku ridhai Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al Maidah : 3). Tentang sabda beliau, “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”, Al Ma’afi An Nahrawani mengatakan, “Hal ini agar setiap orang yang mendengar suatu perkara dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersegera untuk menyampaikannya, meskipun hanya sedikit. Tujuannya agar nukilan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat segera tersambung dan tersampaikan seluruhnya.” Hal ini sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak hadir”. Bentuk perintah dalam hadits ini menunjukkan hukum fardhu kifayah.
Kedua:
Tabligh, atau menyampaikan ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi dalam dua bentuk :
  1. Menyampaikan dalil dari Al Qur’an atau sebagiannya dan dari As Sunnah, baik sunnah yang berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (amaliyah), maupun persetujuan (taqririyah), dan segala hal yang terkait dengan sifat dan akhlak mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cara penyampaian seperti ini membutuhkan hafalan yang bagus dan mantap. Juga cara dakwah seperti ini haruslah disampaikan dari orang yang jelas Islamnya, baligh (dewasa) dan memiliki sikap ‘adalah (sholeh, tidak sering melakukan dosa besar, menjauhi dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang mengurangi harga diri/ muru’ah, ed).
  2. Menyampaikan secara makna dan pemahaman terhadap nash-nash yang ada. Orang yang menyampaikan ilmu seperti ini butuh capabilitas dan legalitas tersendiri yang diperoleh dari banyak menggali ilmu dan bisa pula dengan mendapatkan persaksian atau izin dari para ulama. Hal ini dikarenakan memahami nash-nash membutuhkan ilmu-ilmu lainnya, di antaranya bahasa, ilmu nahwu (tata bahasa Arab), ilmu-ilmu ushul, musthalah, dan membutuhkan penelaahan terhadap perkataan-perkataan ahli ilmu, mengetahui ikhtilaf(perbedaan) maupun kesepakatan yang terjadi di kalangan mereka, hingga ia mengetahui mana pendapat yang paling mendekati dalil dalam suatu masalah khilafiyah. Dengan bekal-bekal ilmu tersebut akhirnya ia tidak terjerumus menganut pendapat yang ‘nyleneh’.
Ketiga:
Sebagian orang yang mengaku sebagai da’i, pemberi wejangan, dan pengisi ta’lim, padahal nyatanya ia tidak memiliki pemahaman (ilmu mumpuni) dalam agama, berdalil dengan hadits “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”. Mereka beranggapan bahwasanya tidak dibutuhkan ilmu yang banyak untuk berdakwah (asalkan hafal ayat atau hadits, boleh menyampaikan semau pemahamannya, ed). Bahkan mereka berkata bahwasanya barangsiapa yang memiliki satu ayat maka ia telah disebut sebagai pendakwah, dengan dalil hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamtersebut. Menurut mereka, tentu yang memiliki hafalan lebih banyak dari satu ayat atau satu hadits lebih layak jadi pendakwah.
Pernyataan di atas jelas keliru dan termasuk pengelabuan yang tidak samar bagi orang yang dianugerahi ilmu oleh Allah. Hadits di atas tidaklah menunjukkan apa yang mereka maksudkan, melainkan di dalamnya justru terdapat perintah untuk menyampaikan ilmu dengan pemahaman yang baik, meskipun ia hanya mendapatkan satu hadits saja. Apabila seorang pendakwah hanya memiliki hafalan ilmu yang mantap, maka ia hanya boleh menyampaikan sekadar hafalan yang ia dengar. Adapun apabila ia termasuk ahlul hifzh wal fahm (punya hafalan ilmu dan pemahaman yang bagus), ia dapat menyampaikan dalil yang ia hafal dan pemahaman ilmu yang ia miliki. Demikianlah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam“Terkadang orang yang disampaikan ilmu itu lebih paham dari yang mendengar secara langsung. Dan kadang pula orang yang membawa ilmu bukanlah orang yang faqih (bagus dalam pemahaman)”. Bagaimana seseorang bisa mengira bahwa Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak paham agama untuk mengajarkan berdasarkan pemahaman yang ia buat asal-asalan (padahal ia hanya sekedar hafal dan tidak paham, ed)?! Semoga Allah melindungi kita dari kerusakan semacam ini.
Diterjemahkan dari : “Ta’liqat ‘ala Arba’ina Haditsan fi Manhajis Salaf” Syaikh Ali bin Yahya Al Haddadi  (http://haddady.com/ra_page_views.php?id=299&page=24&main=7)
Penerjemah: Yhouga Ariesta
Editor: M. A.  Tuasikal

Jumat, 15 Juli 2011

COREL DRAW 12

modul-coreldraw-12

PHOTOSHOP

POTOSHOP

Minggu, 29 Mei 2011

AMALAN YANG TIDAK PUTUS PAHALANYA


Sabda Nabi Muhammad s.a.w. :
Amal manusia yang tidak pernah putusnya mendapat pahala disisi Allah, Ada tiga perkara:
AMAL-JARIAH: Amal Jariah ertinya pekerjaan yang baik umpamanya dia menyumbangkan tenaga atau harta atau fikiran kepada masyarakat untuk pembaikan atau pembiayaan untuk masjid, musolla, madrasah, rumah sakit dan sebagainya maka selagi masjid masih digunakan beribadat, musolla dan madrasah dipakai orang, maka selama itu pula orang tadi mendapat pahala di sisi Tuhan.
Tapi kebanyakan orang berfaham amal jariah itu hanya untuk agama sahaja padahal untuk umum pun termasuk amal jariah juga. Misalnya : Sebuah Jalan atau jambatan yang umum diguna kerosakan, kemudian secara bergotong-royong masyarakat setempat beramai-ramai memperbaiki itupun termasuk amal jariah.
Org awam berpendapat yang dikatakan amal soleh adalah cuma solat dan puasa saja padahal bukan yang demikian. Yang dimaksudkan dengan kata “amal soleh” adalah perbuatan yang baik, baik dalam pandangan mata umum dan juga pandangan agama. Maka tandanya orang beriman, ialah yang suka melakukan amal kebajikan.
ANAK YANG SOLEH (ANAK YG BAIK) Sudah jelas jika orang ingin mempunyai anak yang soleh, tidak mudah diperolehi begitu saja. Maka yang pertama wajib atas org tua mengajar anak dengan pendidikan agama. Selain menghantar anaknya ke sekolah umum dan sekolah agama, orang tua juga harus memberi contoh yang baik kepada anaknya dengan melaksanakan perintah agama. InsyaAllah anak itu akan mencontohi orang tuanya.
ILMU YANG DIAJARKAN KPADA ORANG LAIN Adapun yang dimaksudkan dengan ilmu adalah bukan ilmu agama sahaja. Ilmu itu adalah umum, ilmu ertinya adalah “Pengetahuan”. Sebagaimana Sabda Rasulullah s.a.w. : ‘Sempurnanya agama dengan ilmu, sempurnanya dunia juga dengan ilmu.”
Jadi tegaslah ilmu apa saja yg telah diajarkan kepada orang lain dan orang lain itu mendapat manfaat dari ilmu tersebut, maka org pertama yang mengajarkannya jika dia seorang muslim dia mendapat pahala yg tidak habis disisi Allah s.a.w.
Misalnya org pandai membetulkan radio rosak kemudian kepandaiannya diajarkan pada orang lain, lalu orang itu mendapat manfaat daripadanya yang disunatkan untuk mencari nafkah, maka orang yang mengajarkannya mendapat pahala “jariyah” dari sisi Allah s.w.t.

EXCEL 2007

PANDUAN EXCEL SMA KELAS 11 SEMESTER 2

Rabu, 14 Oktober 2009

TELADAN GURU

Di sela-sela pengkajian kitab Hasyiyah al-Bajuriy, tentang orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik zakat), Sang Guru bercerita kurang lebih demikian “Ketika dulu saya mengajar di pesantren, sebelum menerima gaji, saya hitung dulu berapa jam saya tidak tepat waktu dalam mengajar (kurang dari waktu yang semestinya). Setelah kekurangan waktu mengajar diketahui dan dinilai dengan uang, maka saya kembalikanlah sejumlah uang dari gaji saya tersebut kepada pihak bendahara (yang membagikan gaji) di pesantren. Meskipun tidak ada aturan dari pesantren yang mengharuskan berbuat demikian, tetapi beberapa orang kawan (sesama guru) juga berbuat demikian, karena takut termakan uang gaji yang tidak halal akibat dari mengajar yang kurang dari waktu semestinya. Namun, sebagian kawan yang lain ada juga yang tidak mengembalikan sebagian uang tersebut.”
Maksudnya apaan sih? Misalnya, dalam satu hari saya dijadwalkan mengajar selama 4 jam dengan gaji perharinya Rp. 30 ribu. Pada suatu hari, karena ada keperluan tertentu, saya hanya mengajar selama 2 jam saja. Ketika waktu gajian tiba, diserahkan gaji saya yang perharinya Rp. 30 ribu/4 jam. Pertanyaannya, apakah uang Rp. 15 ribu dari hasil tidak mengajar selama 2 jam yang diterima itu halal bagi kita? Nah, bagi anda yang beranggapan bahwa uang Rp. 15 ribu tadi tidak halal (haram) atau syubhat (antara halal dan haram=mendekati haram) dapat mengembalikan uang tersebut sebagaimana yang dilakukan Sang Guru tadi. Inilah yang penulis sebut dengan “kejujuran”. Sifat kejujuran ini timbul dari suatu sifat terpuji yang dinamakan wara’, yaitu berusaha keras menghindarkan diri dari hal-hal yang syubhat (apalagi haram), dan perbuatan sia-sia yang dibolehkan (halal).
Mungkin banyak orang yang tidak menyadari hal tersebut, karena permasalahan tersebut samar-samar. Berbeda dengan korupsi atau mencuri yang jelas-jelas diharamkan. Namun, sebenarnya hal di atas juga bisa dikategorikan sebagai korupsi, yakni korupsi waktu. Disebabkan hampir semua orang pernah korupsi waktu dalam bekerja, sehingga permasalahan tersebut menjadi samar atau kurang jelas. Perilaku Sang Guru tadi menurut penulis patut diteladani. Sebab, akal sehat dapat menerima bahwa apabila seseorang mengajar berarti ia berhak atas upah (gaji). Demikian pula sebaliknya, apabila tidak mengajar (padahal diwajibkan mengajar) berarti ia tidak berhak mendapat upah.
Penulis teringat ketika kuliah dulu, ada dosen yang jarang masuk, atau kalau masuk tapi sebentar dan sebagainya. Mereka ambil gaji semuanya, atau mengembalikan sebagiannya, penulis tidak tahu, itu sih urusan mereka. Para pegawai pun demikian. Semestinya masuk kantor pukul 7 pagi dan pulang pukul 2 siang (bagi yang 6 hari kerja), malah ada yang masuk pukul 9 dan pulangnya lebih awal. Ada yang izin menjemput anak sekolah setiap harinya, ibu-ibunya ada yang belanja ke pasar; eh…tau-taunya kena rajia Satpol PP. Ada yang alasannya lagi tidak ada kerjaan atau ada juga yang menghindari pekerjaan. Tetapi kalau sudah gajian, paling duluan ngambil gaji.
Pertanyaannya: Kalau guru atau pegawai honorer dapat mengembalikan “uang syubhat” itu langsung kepada bendahara sekolah yang menggajinya, lalu ke mana para pegawai negeri mengembalikan uang syubhat tersebut berhubung sekarang ini gaji perbulannya diambil lewat Bank-Bank tertentu (tidak lagi di kantor tempat bekerja)? Ya kalau dirasa sulit atau tidak yakin uang tersebut akan masuk ke kas negara ketika kita serahkan (karena diselewengkan), maka orang tersebut sebaiknya mengeluarkannya melalui jalan diinfakkan atau apa saja yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Tapi ingat! itu bukan zakat. Sebab, biasanya zakat profesi sudah dipotong dari gaji perbulannya oleh bagian keuangan tempat saudara bekerja.
Kita sadar bahwa sikap seperti Sang Guru di atas sangatlah langka sekali. Namun, itulah sikap kejujuran yang benar dan patut diteladani yang timbul dari sifat ikhlas dan takut akan termakan harta yang haram. Karena sadar bahwa bekerja itu untuk tujuan ibadah, sehingga pekerjaannya pun bernilai ibadah. Bukan sebaliknya, bekerja untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan halal dan haram.
Wallahu A’lamu bi al-Shawab


Senin, 31 Agustus 2009

14 PEDOMAN HIDUP MANUSIA

  1. MUSUH TERUTAMA MANUSIA ADALAH DIRI SENDIRI
  2. KEGAGALAN TERUTAMA MANUSIA ADALAH KESOMBONGAN
  3. KEBODOHAN TERUTAMA MANUSIA ADALAH SIFAT ENIPU
  4. KESEDIHAN TERUTAMA MANUSIA ADALAH RASA IRI HATI
  5. KESALAHAN TERUTAMA MANUSIA ADALAH CAMPAK DIRI
  6. SIFAT MANUSIA YG PALING TERPUJI ADALAH SEMANGAT PERJUANGAN UNTUK PENIGKATAN
  7. KETENTRAMAN DAN KEDAMAIAN TERUTAMA MANUSIA ADALAH SUKA BERDANA DAN BERAMAL
  8. HARTA TERUTAMA MANUSIA ADALAH KESEHATAN
  9. HADIAH TERUTAMA MANUSIA ADALAH LAPANG DADA DAN MAU MEMAAFKAN
  10. SIFAT MANUSIA YANG TERKASIHAN ADALAH RASA RENDAH DIRI
  11. DOSA TERUTAMA MANUSIA ADALAH MENIPU DIRI DAN ORANG LAIN
  12. HUTANG TERBESAR MANUSIA ADALAH HUTANG BUDI
  13. KEKURANGAN TERBESAR MANUSIA ADALAH SIFAT BERKELUH KESAH DAN TIDAK MEMILIKKI KEBIJAKSANAAN
  14. KEHANCURAN TERBESAR MANUSIA ADALAH RASA PUTUS ASA

Selasa, 25 Agustus 2009

MENYAMBUT BULAN RAMADHAN 1430 H


  1. Alkhamdulillah di bulan suci ramadhan ini kita masih diberi kesempatan untuk malaksanakan ibadah puasa,
    Teman - teman marilah kita laksanakan ibadah puasa ini dengan khusuk dan ini ada 10 langkah untuk menghadapi bulan suci Ramadhan

    1. Berdoalah agar Allah swt. memberikan kesempatan kepada kita untuk bertemu dengan bulan Ramadan dalam keadaan sehat wal afiat. Dengan keadaan sehat, kita bisa melaksanakan ibadah secara maksimal di bulan itu, baik puasa, shalat, tilawah, dan dzikir. Dari Anas bin Malik r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. apabila masuk bulan Rajab selalu berdoa, ”Allahuma bariklana fii rajab wa sya’ban, wa balighna ramadan.” Artinya, ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban; dan sampaikan kami ke bulan Ramadan. (HR. Ahmad dan Tabrani).
  2. Bersyukurlah dan puji Allah atas karunia Ramadan yang kembali diberikan kepada kita. Al-Imam Nawawi dalam kitab Adzkar-nya berkata, ”Dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan kebaikan dan diangkat dari dirinya keburukan untuk bersujud kepada Allah sebagai tanda syukur; dan memuji Allah dengan pujian yang sesuai dengan keagungannya.” Dan di antara nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada seorang hamba adalah ketika dia diberikan kemampuan untuk melakukan ibadah dan ketaatan. Maka, ketika Ramadan telah tiba dan kita dalam kondisi sehat wal afiat, kita harus bersyukur dengan memuji Allah sebagai bentuk syukur.
  3. Bergembiralah dengan kedatangan bulan Ramadan. Rasulullah saw. selalu memberikan kabar gembira kepada para shahabat setiap kali datang bulan Ramadan, “Telah datang kepada kalian bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa. Pada bulan itu Allah membuka pintu-pintu surga dan menutup pintu-pintu neraka.” (HR. Ahmad).

    Salafush-shalih sangat memperhatikan bulan Ramadan. Mereka sangat gembira dengan kedatangannya. Tidak ada kegembiraan yang paling besar selain kedatangan bulan Ramadan karena bulan itu bulan penuh kebaikan dan turunnya rahmat.
  4. Rancanglah agenda kegiatan untuk mendapatkan manfaat sebesar mungkin dari bulan Ramadan. Ramadhan sangat singkat. Karena itu, isi setiap detiknya dengan amalan yang berharga, yang bisa membersihkan diri, dan mendekatkan diri kepada Allah.
  5. Bertekadlah mengisi waktu-waktu Ramadan dengan ketaatan. Barangsiapa jujur kepada Allah, maka Allah akan membantunya dalam melaksanakan agenda-agendanya dan memudahnya melaksanakan aktifitas-aktifitas kebaikan. “Tetapi jikalau mereka benar terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” [Q.S. Muhamad (47): 21]
  6. Pelajarilah hukum-hukum semua amalan ibadah di bulan Ramadan. Wajib bagi setiap mukmin beribadah dengan dilandasi ilmu. Kita wajib mengetahui ilmu dan hukum berpuasa sebelum Ramadan datang agar puasa kita benar dan diterima oleh Allah. “Tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui,” begitu kata Allah di Al-Qur’an surah Al-Anbiyaa’ ayat 7.
  7. Sambut Ramadan dengan tekad meninggalkan dosa dan kebiasaan buruk. Bertaubatlah secara benar dari segala dosa dan kesalahan. Ramadan adalah bulan taubat. “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” [Q.S. An-Nur (24): 31]
  8. Siapkan jiwa dan ruhiyah kita dengan bacaan yang mendukung proses tadzkiyatun-nafs. Hadiri majelis ilmu yang membahas tentang keutamaan, hukum, dan hikmah puasa. Sehingga secara mental kita siap untuk melaksanakan ketaatan pada bulan Ramadan.
  9. Siapkan diri untuk berdakwah di bulan Ramadhan dengan:
    • buat catatan kecil untuk kultum tarawih serta ba’da sholat subuh dan zhuhur.
    • membagikan buku saku atau selebaran yang berisi nasihat dan keutamaan puasa.
  10. Sambutlah Ramadan dengan membuka lembaran baru yang bersih. Kepada Allah, dengan taubatan nashuha. Kepada Rasulullah saw., dengan melanjutkan risalah dakwahnya dan menjalankan sunnah-sunnahnya. Kepada orang tua, istri-anak, dan karib kerabat, dengan mempererat hubungan silaturrahmi. Kepada masyarakat, dengan menjadi orang yang paling bermanfaat bagi mereka. Sebab, manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.

    Sumber: http://www.dakwatuna.com/2007/sepulu...mbut-ramadhan/